About

Sabtu, 24 Maret 2012

BARBARISME ATAS KE (BER) ADABAN


    TERORISME. Siapapun pelakunya, apapun latarbelakangnya, ledakan bom itu merupakan serangan atas kemanusiaan, peradaban danke (ber) adaban manusia. Maka, tiap elemen bangsa yang menghormati kehidupan dan kemanusiaan mengutuk aksi itu.
SINDROM KEKALAHAN.
    Salah satu tafsir mengapa orang berlaku keji atas nilai nilai kemanusiaan adalah karena para teroris di landa sindrom kekalahan atas kehidupan. Kematian di pilih sebagai resolusi atas ketidak berdayaan atau kekalahan mereka. Inilah yang dalam konstruk teoretis Hrair Dekmejian (1985; 27-32 ) disebut sindrom terendah akibat kekalahan bertubi tubi para teroris.
     Jalan kematian dengan melibatkan banyak orang tak bersalah menjadi katarsis dalam perlawanan paling memungkinkan atas aneka bentuk kebuntunan dan kegagalan yang dialami teroris. Dan mereka gagal menemukan jalan rasioanal yang elegan. Para teroris adalah orang orang yang kalah bertempur dalam medan kehidupan. Akibatnya, mati bersama “ musuh “ adalah jalan yang paling di anggap paling rasional.
    Scott Appleby (2002) menegaskan imaginasi dan psikologi kaum teroris di hantui sejarah kekalahan, nestapa , dan kepahitan hidup yang tak kujung usai. Memori mereka dihantui perasaan terkepung “musuh” .
Psikologi dan imaginasi kekalahan itu lalu bdijadikan rujukan normative guna melakukan aksi “ balas dendam” atas kekalahan yang dialami. Para teroris tidak mampu mengalahkan musuh dalam kontenstasi kuasa, maka “mati bersama” menjadi pilihan yang realistis.

KONTRUKSI MUSUH
    Korban teroris sebagian besar adalah “musuh simbolik “ atau “ musuh imajiner “ yang terkontruksi, dan bukan musuh “ontologism”. Dengan demikian, musuh adalah konstruksi semantic yang sengaja dihadirkan dalam realitas social guna melegitimasi self fulfilling prophecy bteroris. Kata  James Aho (1994 : 26 ) “ if an enemy is noy ontologically present in the nature of things, one must be manufactured”.
    Peter berger dan Thomas luckhman (1964) mengidentifikasi lima tahap proses terjadinya kontruksi “musuh “. Pertama , tahap “penamaan “ atau “ pelebelan “ , di mana proses identifikasi musiuh terjadi melalui sebutan sebutan antagonistic .
Kedua, “legitimasi” melalui berbagai pembanaran teologis- ideologis atas sikap permusuhannnya itu.
Ketiga , pembuatan mitos “ mythmaking” guna menggalang simpati atau dukungan kelompok internal.
Ke empat, “ sedimentasi “, yakni proses pengendapan pemahaman antagonistic kedalam memori kolektif kelompok teroris. Keempat tahap ini menjadi berkulmunasi menjadi “ritual”.
Kelima, menggunakan aksi aksi vandalistic- kekerasan terhadap musuh.

SINDROM KEHIDUPAN
    Satu satunya cara untuk melawan “ sindrom kematian” ala teroris adalah dengan “sindrom kehidupan” . Erich Fromm (1964) sering menyebutnya sebagai “ sindrom pertumbuhan “ . “sindrom kehidupan “ menempatkanb hidup sebagai entitas sacral yang harus dijaga dan di isi dengan cinta dan kasih saying terhadap sesame.
Proses kontestasi dalam kehidupan harus di hadapi secara penuh ke adaban, terlepas hasil akhir proses kontestasi itu. Kekalahan dalam kehidupan tidak harus dijawab dengan kematian sebab tidak satu agama pun menganjur kan kematian sebagai jalan keluar kekalahan.
    Islam, misalnya, menempatkan kehidupan sebagai entitas yang sacral. Agama mengajarkan  membunuh satu jiwa yang tak berdosa sama dengan membunuh seluruh manusia. Agama agama juga member penghargaan yang tinggi dalam kehidupan. Dengan demikian, jalan kekerasan dan kematian adalah pilihan para pecundang. Mari menghargai kehidupan dengan menjaganya dengan cara keberadaban.

Kutip  di KOMPAS
MASDAR HILMY , Dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya ; alumnus the University of Melbourne, Australia

0 komentar:

Posting Komentar





Followers

Pages