About

Sabtu, 07 April 2012

Liberalisasi Dalam Dunia Kesehatan


Ada apa dengan sistem pelayanan kesehatan di negeri ini? Mengapa citra rumah sakit yang dulu kental akan fungsi sosialnya kini redup, berganti wajah dan tampilan barunya yang lebih berorientasi untuk kepentingan bisnis?

Bukan saja kini bermunculan rumah sakit swasta (beberapa di antaranya memasang label ”internasional”) dengan target-target pendapatan lewat jasa layanan kesehatan dan tingkat hunian kamar seperti layaknya dunia perhotelan, rumah sakit pemerintah (pusat) pun mulai ikut-ikutan.

Lebih ironis lagi, banyak pemerintah daerah—baik provinsi maupun kabupaten/kota—yang mulai mengalokasikan dana untuk membangun rumah sakit yang berorientasi keuntungan.

Kesenjangan pengetahuan medis tentang masalah kesehatan dan penanganannya memang menjadi salah satu faktor lemahnya posisi pasien (baca: konsumen) berhadapan dengan pengelola jasa layanan kesehatan.

Namun, banyak kalangan percaya bahwa akar dari semua itu berawal dari sistem layanan kesehatan di negeri ini yang sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar. Akibatnya, aroma komersial terasa kental pada hampir setiap tindakan terhadap pasien, sementara fungsi sosial layanan kesehatan tertinggal jauh di belakang.

”Cuma dari luar, rumah sakit kelihatannya kini makin komersial dan meninggalkan fungsi-fungsi sosial. Sebetulnya fungsi sosial tetap jalan. Gawat darurat kan selalu dilayani,” kata dr Adib Abdullah Yahya, Ketua Umum Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia.

Menurut Adib, aroma komersial itu dirasakan pihak luar lantaran rumah sakit harus menghidupi dirinya sendiri. Rumah sakit, kan, harus hidup sehingga menerapkan tarif-tarif sesuai dengan biaya per unit.

Sebaliknya, dokter Kartono Mohamad—pakar kesehatan yang juga mantan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia—melihat pelayanan kesehatan di Indonesia memang cenderung liberal. Semua diserahkan kepada pasar. Malah tiap langkah layanan dikenai tarif tanpa ada aturan yang jelas. Pemodal yang membuka jasa layanan kesehatan kini cenderung hanya berorientasi mencari keuntungan.

Bahkan, kata Kartono, untuk mengangkat jahitan seusai operasi pun dikenai tarif terpisah dari operasi itu sendiri. Demikian pula kontrol atas keadaan seusai tindakan sepertinya dianggap bukan merupakan bagian dari tanggung jawab pascatindakan, tetapi sebagai langkah baru yang dikenai tarif tersendiri.

Bukan hanya pengenaan tarif terpisah yang dipersoalkan. Besaran tarif juga tidak jelas karena ditentukan sendiri oleh pengelola jasa layanan kesehatan.

Seharusnya, kata Kartono, model layanan kesehatan yang berasaskan fee for service semacam ini—di mana tiap langkah layanan dikenai tarif tersendiri—diubah menjadi sistem asuransi dengan segera memberlakukan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional yang sudah lima tahun ”ditidurkan”.

Dalam perspektif pasar, segala sesuatu memang diukur dari seberapa besar kapitalisasi bergulir. Kenyataan ini, meski kerap disanggah oleh pemerintah, yang secara umum berlaku dalam sistem pelayanan kesehatan di negeri ini. Dalam bahasa Radhar, esensi pelayanan termanipulasi oleh fasilitas dan harga, sementara diskriminasi terhadap pasien justru kian ditegakkan.

Lebih celaka lagi, tentu saja bagi pasien, tidak ada lembaga pengawas yang mengoreksi kalau ada kesalahan dalam pelayanan. Belum ada perundang-undangan yang khusus mengatur soal layanan kesehatan di rumah sakit, termasuk di dalamnya terkait kontrol dan prosedur pelayanan terhadap pasien. Pemerintah yang seharusnya bertindak sebagai regulator dan wasit malah ikut bermain.

Membaca berbagai kasus yang muncul ke permukaan, Hasbullah Thabrany—ahli kesehatan masyarakat dari Universitas Indonesia—mengingatkan pemerintah agar segera menyadari bahwa ada kegagalan pasar dalam pelayanan kesehatan. Penerapan mekanisme pasar dalam pelayanan rumah sakit dan pelayanan kesehatan, tambahnya, tidak akan dan tidak pernah menguntungkan konsumen.

Peringatan serupa juga disampaikan sejumlah ahli kesehatan yang tergabung dalam Forum Peduli Kesehatan Rakyat. ”Seluruh literatur telah membuktikan kegagalan mekanisme pasar dalam pelayanan kesehatan. Fakta di dunia, semakin banyak dokter dan rumah sakit, harga pelayanan semakin mahal. Bahkan, rumah sakit publik milik pemerintah ikut bersaing dalam (sistem) mekanisme pasar,” demikian antara lain bunyi seruan Forum Peduli Kesehatan Rakyat untuk menggugah kepedulian para calon presiden dan calon wakil presiden yang masih memarjinalkan isu kesehatan dalam kampanye- kampanye mereka.

Pertanyaannya, di tengah kuatnya isu liberalisasi di hampir semua sektor kehidupan berbangsa seperti sekarang, masihkah ada yang peduli? Masih adakah peluang UU Sistem Jaminan Sosial Nasional, yang antara lain berisikan jaminan kesehatan bagi seluruh lapisan masyarakat—tanpa memandang kaya-miskin—benar-benar dilaksanakan?

Kita hanya bisa menunggu. Ataukah pemerintahan ini tega membiarkan aspek pelayanan kesehatan sebagai ladang bisnis yang kian meruyak, sementara lebih dari dua pertiga rakyat yang menggunakan jasa pelayanan kesehatan menjadi dan atau bertambah miskin serta menderita karena tidak mampu lagi ”membeli” produk layanan kesehatan yang dibutuhkan? Kita hanya bisa menunggu!

(EVY/THY/AIK/KEN)
sumber

4 komentar:

Paragraf 3: itu wajar bos, itukan kebijakan dari masing-masing daerah. kita kan mengenal yang namanya otonomi daerah di negara tercinta kita ini.
dan kitalah sebagai generasi muda yang harus memperbaiki yang memang perlu kita perbaiki ini.

saya setuju.... kalo otonomi daerah berjalan sesuai dengan keinginan kita bersama. "menuju masyarakat yang sejahtera" maka akan sejahtera. namun fatalnya banyak oknum mempraktekan Otonomi daerah sebagai ladang korupsi.

tapi sayang nya dana tidak tepat sasaran, contoh kecil, di RSUD (jamkesmas di anak tirikan bahkan tidak mendapatkan pelayanan) dana jamkesmas sob utk pelayanan kesehatan di kmanain ? , dalam Undang-undang Kesehatan tahun 2009 pun (UU No 36 Tahun 2009), salah satunya point nya ,PEMBIYAYAAN KESEHATAN(Besaran anggaran kesehatan diprioritaskan untuk kepentingan pelayanan publik yang besarnya sekurang-kurangnya dua per tiga dari anggaran kesehatan dalam APBN dan APBD) .
pasien tidak mampu kalau sudah tersorot media baru turun tangan pemerintah , pasien tidak mampu yang lain *tanda tanya* .

By admin

Sedih ya mas liat realita pendidikan di Indonesia, sebagai calon guru kita harus merubahnya XD

Posting Komentar





Followers

Pages